Rabu, 15 Juni 2011

PANDUAN MENULIS ARTIKEL UNTUK MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK



Oleh :  Cyrellus Panjaitan BSc


BERITA DAN MASALAH                                                                                                   

Ada ketentuan, berita merupakan suatu laporan peristiwa yang baru terjadi dan di susun menurut fakta kejadiannya. Disana tidak boleh ada opini atau ulasan, kecuali jika di tambah dengan fakta yang mengesankan makna dan implikasinya. Namun, ada yang membenarkan bahwa pers boleh menulis fakta dan opini, sejauh opini itu benar-benar merupakan hasil penyelidikan atau pengamatan langsung yang dapat dipertanggung-jawabkan. Masalah ini perlu diingatkan bagi pers di Indonesia, termasuk para penulis atau “wartawan freelance”.

Media massa cetak & elektronik dalam pemberitaan sering memuat suatu berita kejadian dengan mencampurbaurkan fakta dengan komentar atau opini. Suatu komentar bisa di warnai dengan ketidaktahuan terhadap persoalan yang sebenarnya, sehingga sering menyebabkan keresahaan di tengah masyarakat. Terjadinya penilaian keliru terhadap suatu kasus kejadian, disebabkan orang yang memberi komentar kurang memahami masalah sosial di negeri ini, dan tidak melihatnya dari sudut pandang sosiologi, sehingga timbul keresahan.

Selama berita-berita yang di muat media massa cetak & elektronik berdasarkan fakta yang akurat dari suatu peristiwa kejadian, jika tersiar tidak ada permasalahan. Malah akan menguntungkan semua lapisan masyarakat, karena mereka akan memperoleh informasi secara benar. Berita-berita fakta yang tidak di perkenankan oleh oknum pemerintah untuk di siarkan pers dalam media massa cetak & elektronik, ternyata bisa menimbulkan berbagai penafsiran di kalangan masyarakat seperti tercermin melalui komentar-komentar yang berbeda. Berarti semua berita berdasarkan fakta, boleh di muat media massa cetak dan elektronik, kecuali rahasia Negara.

Sedang masalah larangan mencampurbaurkan berita fakta dengan komentar atau opini, dan anjuran agar pers tidak memuat dulu suatu komentar atau pendapat terhadap sesuatu kasus kejadian yang baru, hanyalah sebagai upaya menghindarkan berbagai penafsiran yang salah. Padahal, bisa timbul asumsi di tengah masyarakat bahwa berita itu sudah pasti, sedang masalahnya belum tuntas. Berkaitan dengan itulah, maka setiap terjadi suatu kasus kejadian, harus segera di bentuk tim pemeriksa yang bertugas memeriksa kedua belah pihak yang “bersengketa” sebagai penyebab terjadinya peristiwa itu. Setelah tim pemeriksa mengumumkan hasil pemeriksaannya kepada pers, barulah kemudian terbuka ajang opini, komentar dan pendapat terhadap kasus kejadian tersebut.

Adanya “lembaga telepon” bagi pers dari instansi tertentu di tubuh pemerintah karena pelarangan pemberitaan berupa fakta, sama sekali tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, juga tidak mendukung keterbukaan dan demokrasi di Indonesia yang sedang berkembang. Memang, arus informasi membawa perubahan sikap, kebiasaan, cara berfikir, bahkan kadang-kadang terjadi kejutan dan benturan budaya. Sebab arus informasi dapat membawa perubahan sosial yang menimbulkan ketegangan, dan sebaliknya informasi itu sendiri berpengaruh kuat dan dapat mendinginkan ketegangan yang sempat terjadi. Seperti kata sebuah ungkapan.

“Apa sebenarnya sebuah kata atau kalimat, hanya dapat di temukan dengan meneliti apa yang dilakukan oleh seseorang, dan bukan mendengar apa yang diucapkannya dengan kata atau kalimat tersebut”.      


MAKNA DAN IMPLIKASI BERITA

Berita dapat disusun sedemikian rupa untuk menggugah, mengaktifkan dan memberi tenaga di tengah dinamika dan daya cipta masyarakat sebagai jawaban terhadap pertanyaan, bagaimana mempengaruhi masyarakat agar ikut maju ke barisan pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah. Disini harus terbuka dasar dan jalan, agar setiap warga Negara ikut aktif melaksanakan pembangunan, bukan malah pasrah dengan menyatakan, “Yaah.., apa boleh buat, memang nasib sudah begini”.

Hal ini biasanya menjadi perbincangan umum sehari-hari di kalangan pekerja, petani, nelayan, pegawai negeri, karyawan perusahaan milik Negara atau swasta. Mereka secara kritis membicarakan soal-soal yang mereka hadapi, antara lain mengenai gaji, kenaikan harga barang-barang, biaya pendidikan anak-anak, segala tetek-bengek di tubuh keluarga maupun tetangga, hingga sampai kepada masalah hak dan kewajiban ber Negara.

Semua peristiwa itu mempunyai kekuatan berita, tetapi tidak akan menjadi berita sebelum Anda menulisnya. Sebaliknya, masyarakat sangat membutuhkan informasi tersebut sekaligus mengingatkan kontrol dari pihak pengawasan melekat (atasan kepada bawahan) dan pengawasan fungsional, di samping informasi bagi penguasa selaku konseptor dan pembuat kebijakan. Berita disebut dua arah (dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah), lebih populer disebut dengan istilah interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.

Interaksi yang terjadi, tentu membangkitkan rasa ingin tahu masyarakat mengenai rangkaian peristiwa yang telah terjawab atau belum, yang tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan klise dengan rumusan 5 W + 1 H ( What, Who, Where, When, Why + How ) ?. Berita yang Anda tulis, akan menjawab bukan hanya fakta yang terlihat dari kulit luarnya, ibarat “kelapa muda” yang belum dibelah. Tetapi makna dan implikasi berita itu harus di upayakan menonjol sehingga dapat di serap oleh masyarakat pembaca, pendengar dan pemirsa. Pers harus tahu cara memilah-milah berita, mana yang patut dan tidak patut untuk disiarkan. Termasuk di dalamnya cara melontarkan kritik agar tidak membuat orang sampai tersinggung.

Cobalah ciptakan kritik yang bisa membuat orang berterima kasih, bukan sebaliknya malah membuat orang menjadi berang. Arti keterbukaan, bukan berarti membuka segalanya. Karena walaupun bagaimana, harus ada yang dirahasiakan dan tidak perlu diketahui oleh masyarakat umum. Namun, Anda selaku penulis atau “wartawan freelance”, lebih tepat berpegang pada kualitas berita yang bermakna dan punya implikasi bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Jangan terbenam di dalam ikatan tradisi yang akan menghambat pembaharuan, walaupun tidak semua unsur tradisi itu berakibat negatif terhadap modernisasi.


DASAR PENULISAN BERITA

Keluhan dan kekecewaan di kalangan masyarakat sering menjadi sumber ide atau gagasan penulis berita, artikel atau cerita. Penulisan berita di pengaruhi oleh pembawaan penulisnya, terutama mengenai nilai informasi yang layak di beritakan dan menarik perhatian pembaca, pendengar dan pemirsa.

Sebagai penulis atau “wartawan freelance”, Anda berhadapan dengan masalah penyajian, bagaimana merangkaikan kata-kata se-efektif mungkin dalam menyampaikan suatu gagasan atas pengelolaan pikiran Anda bagi para pembaca, pendengar dan pemirsa. Tugas jurnalis dalam pembangunan adalah mendorong masyarakat yang merasa haus terhadap informasi dan pengetahuan tentang keahlian atau keterampilan di bidang pertanian, permesinan, elektronika, kesehatan, industri, bisnis dan lain-lain. Juga menyebarkan pengetahuan praktis kepada masyarakat lapisan bawah, apa yang perlu dikerjakan dan bagaimana melaksanakannya. Terselip di sana tugas jurnalis bagi kalangan atas (pembuat kebijakan) untuk memberi tahu, apa maunya masyarakat lapisan bawah, apa kesukarannya dan bagaimana keadaannya.

Bagaimana membuat berita efektif ?. Katakanlah, sebuah pabrik berdiri dan di resmikan serta mulai berproduksi. Apa makna pabrik terhadap kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, penghematan devisa Negara dan sebagainya. Efek lain dari berdirinya pabrik, bisa menumbuhkan usaha-usaha lain di sekitar pabrik. Dari segi lain, berdirinya pabrik dapat di pandang sebagai suatu peristiwa teknologi, ekonomi dan sosial. Jadi, beberapa pertanyaan perlu di jawab, bagaimana sukses pabrik itu ? Kenapa orang lain tidak sukses dalam kegiatan yang sama ?. Apa makna dan implikasi berita ini ?.

Anda harus menjawab semua pertanyaan ini, menyajikan dengan memilih kata-kata yang tepat agar pikiran Anda dan pikiran orang lain dapat ditangkap oleh para pembaca, pendengar dan pemirsa dengan mudah.

Fungsi utama jurnalistik memang bertugas secermatnya menyampaikan informasi, di mana penulis atau “wartawan freelance” mengumpulkan informasi dan kemudian di sajikan dalam sebuah naskah. Sebagai penulis atau “wartawan freelance”, Anda boleh menulis suatu informasi yang bersumber dari pemikiran Anda atau pikiran orang lain. Kalau gagasan bersumber pikiran orang lain,

Anda mendapat tugas rangkap, yakni menuangkan pemikiran orang-orang lain itu di dalam kata-kata, dan tanggung jawab Anda sebagai penulis bagi pemberi gagasan maupun bagi para pembaca, pendengar dan pemirsa. Sebagian besar penulis jurnalistik adalah menggali gagasan-gagasan dari pikiran orang lain dan menyajikannya sebagai berita di surat kabar, majalah, radio dan televisi.

Tetapi banyak orang merasa sulit menyajikan apa yang di lihatnya dan gagasan apa yang di dengarnya, untuk di jadikan sebuah naskah yang baik bagi para pembaca, pendengar dan pemirsa. Seorang yang ahli di bidang penjualan, di nilai paling berbakat untuk menjadi penulis atau “wartawan freelance”, karena keahlian yang di milikinya itu merupakan dasar “penulisan berita”.

Ada anggapan, seseorang tidak perlu melalui pendidikan khusus kewartawanan untuk bisa menjadi jurnalis. Siapa saja yang bisa tulis-menulis, asal mau, boleh saja. Seperti ungkapan peribahasa asing “A Journalist is born, and not trained”artinya, “Jurnalis di lahirkan, dan bukan hasil bangku sekolah”. Jadi, bakat sejak lahir menentukan seseorang, bisa atau tidak menjadi jurnalis.

Peribahasa itu ada kalanya benar, walau tidak selalu persis begitu. Sebab, kalau Anda hanya mengandalkan bakat, Anda bisa terbentur, karena jurnalistik merupakan bagian dari ilmu komunikasi massa yang mengembangkan ilmu seni “arts” (ada bakat) dengan ilmu pengetahuan “science” (harus di pelajari). Jadi, ada hubungan fundamental antara kepribadian dengan keahlian diri Anda sendiri, yang menampilkan kesan percaya diri dan membuat pihak lain (sumber berita) menjadi bersikap terbuka.

Sukar bagi orang yang bersikap kaku dan pemalu untuk menggali informasi dari sumber beritanya. Apakah Anda seperti itu ?. Apapun latar belakang pendidikan Anda, selama kualifikasi kepribadian dan kelihaian tidak memenuhi syarat, percuma saja meniti karier jurnalis. Termasuk mereka yang terlalu patuh dan penurut serta mudah di dikte, dia akan rikuh menghadapi sumber berita (lebih tinggi status sosialnya). Tetapi, kalau Anda sangat berminat, rubahlah sikap yang kaku dan pemalu. Karena, “Suatu keinginan tidak bisa hilang, kecuali sudah terpenuhi”.

Hal lain yang sangat penting bagi penulis atau “wartawan freelance” sebagai alat utamanya adalah bahasa, karena naskah berita di susun dari kata-kata dan kalimat-kalimat. Tanpa penguasaan bahasa, Anda akan gagal menjadi penulis atau wartawan profesional.

Bahasa jurnalistik atau bahasa pers di definisikan memiliki sifat khas, menarik, singkat, padat, sederhana, lancar, jelas dan lugas. Harus memperhatikan ejaan yang benar dan mengikuti perkembangan kosa kata bahasa serta di dasarkan bahasa baku.
Hal ini yang disebut “ekonomi bahasa”, berupaya melakukan penghematan tata-kata dan tata-kalimat, yakni menghilangkan kata-kata mubazir.

Dalam pemakaian kata-kata dan kalimat-kalimat, penulis atau “wartawan freelance”harus menyajikan bahasa yang benar-benar dapat menyentuh “nalar pembaca, pendengar dan pemirsa”, di barengi dengan kelihaian menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang meyakinkan. Langkah ini mungkin berhasil di tempuh, jika penulis atau “wartawan freelance” menempatkan diri berada di tengah para pembaca, pendengar dan pemirsa. Penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat harus sesuai dengan sasaran yang dituju, apakah lapisan atas (intelektual), lapisan atas-bawah (kerakyatan) dan lapisan menengah kebawah.


INTUISI MENCIUM BERITA

Penulis atau “wartawan freelance” punya kesepakatan intuisi mencium adanya nilai berita dari suatu informasi yang di peroleh karena sebuah peristiwa terjadi. Seorang penulis atau wartawan profesional harus terampil mengenal suatu informasi untuk di sajikan sebagai santapan yang enak bagi para pembaca, pendengar dan pemirsa, di samping merangkaikan fakta-fakta yang berkaitan dengan suatu informasi.

Jika Anda seorang penulis atau “wartawan freelance”, sedang meliput peristiwa tabrakan bus kota dengan mobil sedan plat merah di jalan raya depan Polda Metro Jaya, dan peristiwa yang sama juga di liput oleh penulis atau wartawan yang lain. Keesokan harinya, Anda akan membaca, mendengar dan melihat di beberapa media massa cetak maupun elektronik, dan jelas kelihatan intuisi masing-masing penulis atau wartawan di dalam penyajian berita.

Anda boleh merasa lebih unggul di banding penulis atau wartawan lain dalam penyajian berita di mata para pembaca, pendengar dan pemirsa, jika informasi dan fakta yang Anda kumpulkan lebih lengkap tentang penyebab tabrakan, korban-korban dan identitasnya, apa kata saksi mata, bagaimana reaksi keluarga korban, bagaimana partisipasi masyarakat di sekitar terjadinya tabrakan ketika menolong para korban, dan pelayanan dokter/paramedis di rumah sakit. Keunggulan Anda itu hanya merupakan kebanggaan tersendiri, karena penulis atau wartawan lain juga punya intuisi ketika mencium berita peristiwa tabrakan bus kota dengan mobil sedan plat merah tersebut.

Penulis atau wartawan yang lain, meliput kemungkinan penyebab terjadinya tabrakan itu dari segi pengemudinya, apakah punya SIM (Surat Izin Mengemudi), kurang tidur atau ngantuk, mabok dan ugal-ugalan, supir bus mengejar target uang setoran, kesalahan pejalan kaki yang tidak mematuhi peraturan, karena seharusnya melalui jembatan penyeberangan dan sebagainya.

Sedangkan penulis atau wartawan yang lainnya, meliput dari segi kelalaian teknis kendaraan karena rem kurang berfungsi, yang dibuktikan dengan kecepatan kendaraan, karena sebenarnya masih bisa menghindar dari tabrakan jika rem berfungsi dengan baik. Lain penulis atau wartawan, memfokuskan dari segi jumlah korban, mempertanyakan karoseri bus kota dan mobil sedan, karena tidak wajar begitu banyak korban kalau konstruksi karoserinya kokoh, apalagi dikaitkan dengan pengawasan industri otomotif atau kondisi jalan raya yang sering menyebabkan kecelakaan di tempat yang sama.

Dari peristiwa kecelakaan tabrakan tersebut, dapat di simak intuisi para penulis atau wartawan ketika meliput dan mengumpulkan berbagai informasi. Di samping intuisi para penulis atau wartawan, juga di dukung oleh para redaktur di penerbitan yang bersangkutan.

Langkah penting bagi Anda sebagai penulis atau “wartawan freelance”, harus selalu berusaha untuk mendapatkan lebih banyak informasi, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, karena biar bagaimanapun, informasi tentang suatu kejadian tidak akan kering di timba. Artinya, pengumpulan informasi yang baik dalam proses pembuatan berita, adalah jika dapat tersedia semua fakta-fakta yang ada hubungannya dengan berita itu.
Seorang penulis atau “wartawan freelance”, sewaktu tiba di lokasi kejadian, tentu dia akan memperoleh informasi mengenai peristiwa itu dengan cara menggali, misalnya mewawancarai para saksi mata, polisi, pejabat yang berwenang, keterangan tertulis secara resmi seperti siaran pers, laporan dan dokumen.

Jika seorang penulis atau “wartawan freelance”, kebetulan hadir pada saat peristiwa tabrakan bus kota dengan mobil sedan terjadi, di samping informasi yang langsung dia saksikan, juga perlu informasi tambahan dari saksi mata lainnya, dan bagaimana komentar mereka. Biarpun Anda hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa tabrakan tersebut, kalau anda hanya mengandalkan apa yang Anda lihat tanpa melakukan wawancara tambahan, patut di duga berita yang Anda sajikan kurang sempurna. Tetapi, jika berita itu di tambah dengan informasi dan fakta-fakta lain, misalnya meminta keterangan dari polisi, para korban kecelakaan di rumah sakit, dokter dan paramedis, majikan pengemudi bus kota, keluarga para korban dan sebagainya. Berarti berita yang Anda sajikan akan lebih lengkap dan cukup sempurna.

Disini, Anda selaku penulis atau “wartawan freelance” harus selalu menanyakan berbagai alternatif untuk memperoleh informasi lebih banyak. Jadi, kegiatan wawancara adalah salah satu cara penting untuk menarik dan mendapatkan informasi.
Memang, sudah banyak buku pegangan tentang cara berwawancara, tetapi tidak cukup hanya mengetahui prosedur itu, karena intuisi seorang penulis atau wartawan jauh lebih banyak menolong daripada teori-teori wawancara.  


WAWANCARA

Wawancara adalah percakapan yang memberi informasi dan Anda mengutipnya untuk artikel atau cerita. Seperti halnya hasil penelitian, terdiri dari informasi yang diperoleh ataupun yang ditemukan sebagai bahan masukan suatu tulisan. Seorang penulis atau wartawan profesional yang telah menekuni bidang tertentu, bisa dengan cepat menguasai arah dan sasaran pertanyaan kepada subjeknya, jika subjek wawancara tidak berkenan menjelaskan suatu kasus dari sejak awal, karena subjek wawancara memang menganggap pewawancara telah mengetahuinya.

Keraguan lain sumber berita, dia tidak mau melibatkan namanya dalam suatu kasus, sekalipun di ketahuinya sedikit banyak mengenai masalah tersebut, atau mungkin dia menduga wartawan itu bisa salah kutip terhadap keterangannya dan sebagainya. Tetapi sekarang, sikap yang demikian jumlahnya telah turun drastis karena perkembangan dalam industri komunikasi. Untuk bahan-bahan penulisan, Anda harus mengadakan wawancara dengan dua jenis subjek, yakni orang termasyhur dan orang ahli.

Orang yang sedang Anda tulis masalahnya disebut “orang termasyhur”, sementara orang yang mempelajari topik yang sedang Anda tulis disebut “orang ahli”. Pokoknya, siapa saja yang sedang Anda tulis masalahnya, dia adalah orang termasyhur, dan siapa saja yang mengetahui sesuatu yang hendak Anda tulis, dia adalah seorang ahli. Jika seorang ahli menolak Anda atau meninggal sebelum Anda mengadakan wawancara, Anda dapat dengan mudah menemukan orang lain yang juga ahli dan Anda dapat menulis materi artikel yang sama.

Tetapi, jika seorang termasyhur menolak Anda atau meninggal sebelum Anda mengadakan wawancara, maka Anda tidak akan mampu menggantikan orang yang termasyhur tersebut, karena Anda akan menulis artikel yang masalahnya berbeda dengan orang lain.

SOSIO-NASIONALISME


CEC, Depok.

Bung Karno (Dibawah Bendera Revolusi) menulis ; Sosio-nasionalisme adalah Nasionalisme Masyarakat, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindakmenurut wet-wetnya masyarakat itu.

Bahwa sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ngelamun, bukanlah nasionalisme hati sahaja, bukanlah nasionalisme lyriek sahaja, tetapi ialah nasionalisme yang diperhitungkan, nasionalisme berekening. Itulah sebabnya, maka sosio-nasionalisme ialah nasionalisme yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat, dan tidak bertindak melanggar wet-wetnya masyarakat itu.

Sekarang, apakah wet-wetnya masyarakat soal perburuhan?. Wet-wetnya masyarakat tentang soal perburuhan ialah, bahwa perburuhan itu adalah cocok dengan sifat hakekatnya masyarakat yang sekarang ini, yaitu cocok dengan hakekatnya masyarakat yang kapitalistis. Perburuhan adalah memang dasarnya dunia yang kapitalistis.

Perburuhan kita dapatkan, dimana-mana kapitalisme ada, dan perburuhan timbul dimana kapitalisme timbul. Oleh karenanya, sosio-nasionalisme harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan. Sosio-nasionalisme tidak boleh mengenangkan dunia sekarang ini zonder perburuhan. Ya, sosio-nasionalisme harus menerima adanya perburuhan itu sebagai salah satu alat, sebagai suatu gegeven, didalam perjuangannya, tulis Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. (Cy,dbs)    

Senin, 13 Juni 2011

AGAMA TERPISAH DARI NEGARA



CEC, Depok.

 
Bung Karno (Dibawah Bendera Revolusi); “Agama itu perlu di merdeka kan dari belenggu nya pemerintah, agar menjadi subur. Manakala agama di pakai buat memerintah, ia selalu di pakai sebagai alat penghukum di tangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi. 

Manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spiritual, maka ia adalah menyelamatkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama itu satu singgasana yang maha kuat di dalam kalbu nya kaum yang percaya. Agama di pisahkan dari Negara, agar supaya agama menjadi merdeka, dan Negara pun menjadi merdeka. Agar supaya agama berjalan sendiri. Agar supaya agama subur, dan Negara pun subur pula. 

Pidato Kamal Ataturk (Turki); “Saya me-merdeka kan agama dari Negara, agar agama bisa kuat. Dan saya me-merdeka kan Negara dari agama, agar Negara bisa kuat”. Jadi, agama terpisah dari Negara, tulis Bung Karno.
Demikian juga di beberapa Negara di dunia, tulis Bung Karno selanjutnya; antara lain, Negeri Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Inggris,  India, Amerika Serikat dan Negara-negara di benua Amerika. Di semua negeri-negeri ini, agama dan Negara terpisah, tidak di satu tangan.

Lagipula, di suatu negeri yang ada demokrasi, yang ada perwakilan rakyat yang benar-benar mewakili rakyat, di negeri yang demikian itu, rakyat nya dapat me-masuk kan segala macam ke-agama-an-nya ke-dalam tiap-tiap tindakan Negara, ke dalam tiap-tiap undang-undang yang di pakai di dalam Negara, ke-dalam tiap-tiap politik yang di lakukan oleh Negara, walaupun disitu agama di pisahkan dari Negara. (Cy, dbs)