Rabu, 02 Oktober 2013

In Indonesia, a Governor at Home on the Streets


CEC : The New York Times, JAKARTA, Indonesia — Each day, Joko Widodo, the governor of Jakarta, does something practically unheard-of among Indonesia’s political elite: he ventures into the streets to speak with the people who elected him. The people, he jokes, are not so much excited to see him; they are merely “shocked to see an Indonesian leader out of their office.”

“The people say it’s ‘street democracy’ because I go out to them,” said Mr. Joko, 52, whose supporters affectionately call him by his nickname, Jokowi. “I explain my programs. They can also give me ideas about programs.” He also drops in on local government and tax offices to let the city’s notoriously inefficient bureaucrats know he is watching. That daily routine is one of the main reasons Mr. Joko, a reed-thin former furniture dealer, has almost overnight shot to the top of the polls about possible candidates for next year’s presidential election. In late August, the country’s most influential daily newspaper, Kompas, displayed his photo on its front page three days in a row along with poll results showing him with nearly double the support of the closest challenger, a retired Army general. The poll also found he had swept past the leader of his own party: former President Megawati Sukarnoputri, a famously imperious leader who sometimes referred to her supporters as “little people.” 
“He’s the opposite of the leaders we have now. He doesn’t fit the mold at all,” said Bhimanto Suwastoyo, chief editor of the online Jakarta Globe. “The mold is: an Indonesian official does what he wants, has no connection with the people and doesn’t consult — he rules. Jokowi is doing the exact opposite. He’s hands on, he asks the public what they want, he approaches them and he’s seen as actually doing something.” What Mr. Joko has accomplished in his first year leading the capital is not high-profile. In fact, people give him at least as much credit for what he appears not to have done. In a country rife with corruption, Mr. Joko is widely considered a clean politician who has not used his office to enrich himself, and who is working hard to cut down on corruption within the government. The issue of official corruption is expected to be a major factor in the election, the third direct presidential election since the country threw off autocratic rule 15 years ago. The economy has been doing well — it survived the world’s 2008 financial crisis virtually untouched, multinationals have been flocking here and its gross domestic product has expanded at a steady rate of more than 6 percent for the last three years. Still, analysts consistently say Indonesia is being held back from reaching its full potential because of corruption and collusion among government officials, lawmakers and powerful business interests. The current president, Susilo Bambang Yudhoyono, swept into power in 2004 and was re-elected in 2009 on an anticorruption platform, but his governing Democratic Party has been mired in corruption scandals the past two years. With months to go before the election, anything can happen to derail Mr. Joko’s chances. The retired general who ran second in the Kompas poll, Prabowo Subianto, has a strong following among the poor and has been considered a top contender for the presidency, despite widespread allegations of human rights abuses in East Timor. (Mr. Prabowo and Mr. Joko are members of opposition parties; Mr. Yudhoyono cannot run again because of term limits.) Since becoming governor last October, Mr. Joko has followed through on his campaign promises, including issuing welfare payments on the equivalent of electronic gift cards that allow people to pay for health care and education supplies directly and ensure government officials do not take a cut off the top. He also instituted an online tax payment system to prevent graft and jump-started long-delayed plans for a mass rapid transit system for the capital. (*) - cec

Selasa, 01 Oktober 2013

Ahok : Kalau pindahkan orang berdasarkan agama, maka Negara ini akan rusak dan pecah !


CEC : Kehadiran Susan Jasmine Zulkifli sebagai lurah di Lenteng Agung pasca kebijakan lelang jabatan menuai kontroversi. Yang mencengangkan Susan ditolak warga sekitar lantaran agamanya berbeda dari agama mayoritas penduduk setempat. Penolakan terhadap lurah cantik ini sampai juga ke telinga wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok ). Tak pelak isu ini juga membuat kuping Ahok memerah.
"Jujur ya kami rasa itu sudah melalui proses seleksi terbuka kami gak pernah ikut campur karena tes ini Polri, psikolog di Polri lalu mereka yang tempatkan orang-orang itu sesuai karakteristiknya dan tentu di tes itu tidak mempersoalkan agama. Kalau dipersoalkan mayoritas dan minoritas berarti saya pun gak cocok jadi wagub, kalau seperti itu terjadi Indonesia di ambang perpecahan," kata Ahok saat wawancara dengan merdeka.com, Kamis (26/9).
Ahok lantas bercerita awal isu ini merebak. "Saya juga dulu awalnya tidak kenal Susan siapa sampai ada masukan surat, koran ribut, jual beli KTP sampai 2.000 lebih. Saya dipanggil Pak Jokowi dan diskusi, lalu kita cek betul nggak itu KTP DKI, kita ada intel semua lapor. Lalu ini siapa (pendemo) ya, kita diami dulu lihat sampai mana, karena kita tidak mungkin pindahin orang hasil seleksi berdasarkan agama, atau atas kelompok orang tidak suka." ungkap Ahok .
Ahok pun mengutus seseorang untuk mengecek kasus yang berkembang di tengah warga Lenteng Agung. Sampai-sampai dia didatangi dan ditantang warga yang menolak lurah Susan terang-terangan. "Datang beberapa orang ke sini, saya nggak kenal, dia bilang sama saya kamu jangan arogan saya kasih kamu waktu 1x24 jam untuk pindahin lurah Susan, saya tanya bapak KTP-nya mana, KTP Depok. Alasannya apa, karena kami mayoritasnya di sana Islam," katanya.
Seperti apapun Susan asal kinerja Susan bisa dipertanggungjawabkan, Pemprov DKI mengaku tidak akan memindah Susan. "Kalau ngomong begitu ya mayoritas Jakarta juga Islam, tapi dalam bernegara kita nggak kenal mayoritas dan minoritas, makanya kami nggak bisa turunkan. kalau kita pindahkan orang karena agama rusaklah negara ini," tegasnya.

Sumber : merdeka.com

Politisi Demokrat : SBY Tidak Pantas Dibandingkan dengan Jokowi, POLITISI DEMOKRAT OTAKNYA SEDANG PANAS.


CEC : Partai Demokrat menganggap tidak adil bila presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disamakan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Hal itu terkait pernyataan Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Palti Panjaitan yang prihatin dengan sejumlah tindakan intoleransi di tanah air.
"Pak SBY dibandingkan dengan Jokowi. Bayangkan presiden dibandingkan gubernur yang baru saja menjabat. Yang bandingkan Jokowi dengan presiden, tidak pantas," kata Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/9/2013).
Palti Panjaitan sempat menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya belajar dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) soal toleransi yang dinilainya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi beragama selama hampir setahun menjabat. Menurut Nurhayati, toleransi di Indonesia paling indah sejak awal. Ia mencontohkan dengan terselenggaranya Miss World dengan baik. Di sisi lain gelaran MTQ (Musabakaqah Tilawatil Quran) juga berjalan dengan lancar. "Coba MTQ di bawa ke negara lain? apakah bisa," tuturnya. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu mengatakan permasalahan toleransi bukan hanya tugas Presiden SBY. Melainkan tugas pemuka agama juga menyebarkan pesan damai kepada umatnya. "Kurang apa SBY? Di Kemenag ada semuanya, tidak hanya satu agama saja. Cek di tempat lain, maksud saya, kita ini sudah masuk ke komunitas global. Masalah toleransi itu paling indah di Indonesia," katanya. Ia pun mempertanyakan perbandingan Presiden SBY dan Jokowi. Sebab, hal itu tidak pantas dibandingkan. "Ketika dibandingkan dengan Jokowi, pasti bangsa Indonesia harus mempertanyakan itu. Kalau politis itu tidak harus dipertanyakan. Ini nggak fair," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Palti Panjaitan mengatakan sikap Jokowi merespons penolakan warga atas penempatan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Susan mendapatkan penolakan dari sekelompok warga karena alasan agama yang dianutnya. Contoh lainnya, kata dia, persoalan Gereja Katolik di Tambora. Menurutnya, beberapa pihak juga mendesak gereja tersebut ditutup. Namun, Jokowi menolaknya. Sikap Jokowi tersebut, menurut Palti, kontras dengan sikap SBY. Selama menjabat Presiden, ia menilai banyak tindakan intoleransi terjadi dan Presiden SBY tak banyak bertindak. Palti Panjaitan pun mencontohkan kasus in-toleransi yang menimpa gerejanya, Gereja Filadelfia, Bekasi, dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Sudah dua tahun gereja tersebut disegel karena perkara yang tidak jelas sehingga jemaat tidak dapat beribadah di gereja tersebut.

Sumber : TRIBUNNEWS.COM

Jusuf Kalla Dukung Susan Sebagai Lurah Lenteng Agung

CEC : Mantan Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla angkat bicara soal penolakan terhadap penempatan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung dengan alasan berbeda agama. Jusuf Kalla mengaku tidak sepakat jika penempatan seorang pejabat dinilai dari asal usulnya. (Baca: Pendemo Lurah Susan Bukan Warga Lenteng Agung?). "Pejabat itu harus (dinilai) berdasarkan kemampuan, bukan asal usulnya," kata JK, sapaan akrabnya, saat ditemui di Hotel Bumi Wiyata, Ahad, 29 September 2013. (Baca:Jokowi Tak Akan Pindahkan Lurah Susan). 
Menurut JK, selama prosedur penempatan dan kinerja seorang pejabat itu benar, maka tidak ada alasan untuk melakukan penolakan. Dalam kasus Lurah Susan, masyarakat seharusnya melihat bagaimana lurah itu dipilih dan di tempatkan di Lenteng Agung. Bukan malah menolak karena agama yang berbeda. "Jadi kalau dia cara pemilihnya benar, kapasitas bagus, ya harus didukung," kata JK. (Baca: Ditegur Mendagri, Ahok: Cuekin Saja). Puluhan warga yang mayoritas berasal dari Depok dan minoritas warga Lenteng Agung telah dua kali unjuk rasa menolak penempatan Lurah Susan. Aksi terakhir pada 26 September 2013 disertai pengumpulan tanda tangan dan hadiah keranda mayat di depan Kantor Kelurahan Lenteng Agung. 
JK menyayangkan gelombang protes itu dilakukan sebelum mengetahui kapasitas sang lurah. (Baca: Provokator Demo Lurah Susan Ketahuan). 

Sumber : TEMPO.CO