Sabtu, 04 Oktober 2014

Undang Undang Pilkada Bersifat Anti Demokrasi

CEC : Ahli tata negara dari Universite de Rouen, Prancis, Profesor Jean-Philippe Derosier, mengamati kontroversi yang terjadi akibat pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.  "Undang-undang itu bersifat anti-demokrasi," ujar Derosier ketika memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Rabu, 1 Oktober 2014.


Anti-demokrasi, ujar Derosier, terjadi karena pengikisan hak rakyat dalam memilih kepala daerah. "Padahal awalnya rakyat memilih sendiri kepala daerah dalam pemilu," tuturnya. 



Dengan beleid itu, kata dia, kepala daerah dipilih oleh parlemen/DPRD. Namun demikian, Derosier enggan memberikan pendapat lebih lanjut soal UU Pilkada karena berstatus warga negara asing. Status ini menghalanginya memberikan opini secara mendalam. Hanya saja, ujar dia, pilkada oleh DPRD juga memberi kemudahan bagi rakyat itu sendiri. Menurut Derosier, rakyat tidak perlu repot melakukan dua kali pemilihan. 

Di Indonesia, rakyat harus memilih wakilnya di parlemen melalui pemilu legislatif, kemudian disusul dengan pemilihan presiden atau kepala daerah. UU Pilkada, tutur Derosier, mengingatkan dirinya tentang sistem yang sama seperti di Inggris dan Jerman. "Karena saya orang Eropa."

Sistem pemilu di Inggris, kata Derosier, lebih mudah karena rakyat hanya melalukan pemilu satu kali. Pemilu langsung dilakukan untuk menentukan parlemen. "Kursi perdana menteri otomatis jadi milik partai pemenang pemilu," ujarnya. 
Sebelumnya, calon perdana menteri sudah terlebih dahulu diperkenalkan ke publik sebelum pemilu. (tempo.co) - cec.

Jumat, 03 Oktober 2014

Setya Novanto Terlibat Kasus Korupsi PON Riau dan e-KTP

CEC : Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengaku menyesalkan terpilihnya Bendahara Umum (Bendum) Partai Golkar, Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019. Sebab, dinilai dapat merusak citra parlemen lantaran berpotensi memiliki masalah hukum. Namun, Abraham mengatakan posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR tak akan menghalangi KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Mengingat, berpotensi memiliki masalah hukum. "(Posisi Ketua DPR) tidak mempersulit karena ketua DPR tidak punya kekebalan hukum," tegas Abraham, melalui pesan singkat, Kamis (2/10).
Nama Setya Novanto memang kerap disebut terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK. Seperti, kasus dugaan korupsi PON Riau dan kasus dugaan korupsi proyek elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP). Bahkan, Setya Novanto pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi PON Riau ketika penyidikan di KPK dengan tersangka Gubernur Riau ketika itu, Rusli Zainal. Tetapi, UU MD3 yang belum lama disahkan sedikit mempersulit pemeriksaan terhadap anggota Dewan. Sebab, pemeriksaan harus mendapat izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tertulis, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam ayat (2), jika Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan persetujuan tertulis dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Dalam ayat (3), persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Walaupun, aturan permintaan izin tersebut tidak berlaku bagi anggota yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Serta, tidak berlaku bagi yang disangka melakukan tindak pidana khusus. (beritasatu.com) - cec.

Rabu, 01 Oktober 2014

Keputusan DPR Terkait RUU Pilkada Tidak Sah

CEC : Mengacu Tata Tertib DPR pasal 245 ayat (1), dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir berdasarkan tata tertib DPR mengenai tata cara pengambilan keputusan yang dapat di baca di web DPR yang tercantum dibawah ini, keputusan DPR terkait RUU Pilkada ternyata TIDAK SAH dikarenakan tidak memenuhi persyaratan jumlah suara yang dibutuhkan untuk dapat menjadi sebuah keputusan resmi DPR. Pasal 277 ayat 1 mengatakan : Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1), dan disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Jumlah anggota yang hadir pada sidang RUU Pilkada tersebut adalah sebanyak 496. Dapat dilihat langsung daftar kehadiran di kesekreatriatan DPR atau bisa lihat di berita berikut ini :





Bila mengacu pada pasal 277 ayat 1, maka keputusan baru dinyatakan SAH dan berlaku bila disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. Bila jumlah anggota yang hadir adalah 496, maka keputusan baru dinyatakan SAH bila mendapat 249 suara. Mengenai anggota DPR yang walkout atau meninggalkan sidang, ada diatur dalam pasal 278 ayat 3 yang mengatur demikian : Anggota yang meninggalkan sidang dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan.
Dengan demikian, maka walaupun meninggalkan sidang, maka tetap dinyatakan telah hadir sehingga persyaratan lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir tetap berlaku yaitu dalam hal ini karena yang hadir pada daftar hadir yang resmi adalah 496 orang, maka keputusan dalam sidang DPR tersebut baru sah bila mendapatkan suara dukungan sebesar minimal 249 suara.  Suara keputusan terkait RUU Pilkada pada sidang DPR tersebut hanya mendapatkan suara dukungan sebesar 226 suara, alias hanya mencapai 45,56% suara anggota DPR yang hadir. Tidak memenuhi persyaratan tatib DPR Bab XVII pasal 277 ayat 1, dimana ketentuannya harus disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota yang hadir. 


Keputusan DPR yang lalu pada sidang RUU Pilkada bisa dinyatakan TIDAK SAH karena tidak memenuhi tata tertib DPR dalam hal tata cara pengambilan keputusan. (Irwan) - cec.