Sabtu, 12 April 2014

JOKOWI : "Saya Enggak Pernah Berikan Serupiah pun ke Relawan"

CEC : Calon Presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, dibandingkan bakal calon presiden lain, ia tak memiliki kekuatan apa-apa, baik media maupun finansial. Hal itu dikatakan Jokowi saat mendatangi Markas Pro Jokowi (Projo) di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2014).
"Kami tidak punya media, TV, koran, tapi banyak yang hadir di sini. Yang saya punya hanya kekurangan dan juga relawan, salah satunya Projo," ujar Jokowi.
Pada kesempatan tersebut, ia juga berterima kasih kepada media yang menyebarluaskan berita kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Akan tetapi, Jokowi mengapresiasi, meski tak memiliki jaringan media, masyarakat tetap memberikan dukungan kepadanya. Ia juga berharap tak ada yang menganggapnya melakukan politik uang untuk meraup massa.
"Saya enggak penah berikan apa pun ke relawan, kepada Projo. Serupiah pun. Saya tidak punya kemampuan finansial untuk itu," kata Gubernur DKI Jakarta ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam kunjungannya ini, Jokowi meresmikan Markas Projo sebagai "Rumah Jokowi". Penggerak PDI-P Projo didominasi oleh para penggerak Posko Gotong Royong Pro Mega pada 1998. Organisasi ini dideklarasikan pada 21 Desember 2013 di Jakarta untuk mendukung Jokowi maju sebagai calon presiden dengan alasan bahwa Gubernur DKI Jakarta tersebut dianggap mampu memimpin dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik secara konkret. (*)
Sumber : PDI Perjuangan

Jumat, 11 April 2014

Dengan Estimasi Perolehan 116 kursi, PDI Perjuangan Cukup Usung Capres "JOKOWI" Sendiri Sebagai Presiden 2014 - 2019 Tanpa Koalisi

CEC : Hasil analisis perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network memprediksi partai yang memperoleh kursi terbanyak di parlemen dalam pemilihan legislatif yang selesai digelar dua hari lalu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar). "Estimasi selisih perolehan kursi PDI Perjuangan 116 kursi, kedua Golkar sekitar 100 kursi. Dua partai ini paling besar perolehan kursinya di DPR-RI," kata Peneliti LSI Network Adjie Alfaraby kepada VIVAnews di kantornya, Jumat 11 April 2014.
Menurut Adjie, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berada di posisi ketiga dengan perolehan 60 hingga 70 kursi di DPR, diikuti oleh Partai Demokrat dengan estimasi sekitar 45 hingga 55 kursi. "Demokrat akan bersaing dengan PKB, perolehan suara keduanya berdasarkan hasil quick count tidak terlalu jauh," ujarnya.
Adjie mengutarakan dalam pemilu legislatif kali ini, pemilih yang mendukung PDIP lebih luas dibanding pemilu 2009 lalu. Trennya menurut Adjie menyebar sehingga dukungannya tidak hanya terpusat di pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa. "Di Kalimantan dukungan yang diperoleh PDIP cukup bagus. Kemudian di Sulawesi, selain Sulawasi Selatan dan Papua. Kemudian di Sumatera di beberapa titik PDIP cukup bagus," kata Adjie.
Adjie menambahkan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur PDIP menang karena basis terkuat partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu berada di kedua provinsi tersebut. "Di Jawa Barat juga terlihat dari quick count kemarin, kemungkinan yang menang juga PDIP," kata Adjie.
Adjie memaparkan berdasarkan estimasi selisih perolehan suara, PDIP akan memperoleh sekitar 116 kursi di DPR RI. Artinya dalam prosentase, PDIP mencapai 20 persen kursi, sebagai salah satu syarat untuk mengusung calon presiden.
"Kalau melihat angka itu artinya PDIP kemungkinan besar bisa mengusung Capres sendiri tanpa koalisi," katanya. (*)
Sumber : © VIVA.co.id

Rabu, 09 April 2014

PESAWAT KEPRESIDENAN RP. 1 TRILIUN


CEC : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bakal menjadi presiden pertama RI yang menggunakan pesawat kepresidenan bukan hasil penyewaan. Pemerintah RI membeli satu pesawat jenis Boeing Business Jet (BBJ) II, yang sudah didaratkan di Bandara Halim Perdasakusuma, Jakarta. Pesawat tersebut, bakal diresmikan penggunaannya pada Kamis (10/4/2014) besok.


Pesawat itu, dibeli dari Boeing Company seharga 91,2 juta Dolar AS, atau setara Rp 1,03 triliun. Pembelian pesawat tersebut, sempat menuai kecaman lantaran dianggap menghambur- hamburkan keuangan negara.

Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan kedatangan pesawat kepresidenan tak sesuai jadwal semula. Seharusnya, pesawat tersebut didatangkan pada 2013.
"Itu bisa dijelaskan secara teknis, tapi rencana bisa saja mundur, mungkin ada penyesuaian. Ada keperluan di pesawat, saya tidak bilang tertunda, tapi ada hal-hal yang membutuhkan waktu. Memang pesawat ini memiliki spesifikasi pesawat kepresidenan," kata Julian Aldrin Pasha di Kantor Presiden, Jalan Veteran, Jakarta, Selasa (8/4/2014).

Julian membenarkan agenda peresmian pemakaian pesawat itu pada Kamis (10/4), seusai pemilu. Namun, ia belum mengetahui apakah acara ini dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau tidak. "Saya belum tahu apakah Presiden hadir. Diberitahu perkembangannya," terangnya.

Komandan Paspampres Mayjen TNI Agus Sutomo pernah menyampaikan, pesawat kepresidenan RI yang dipesan pemerintah Indonesia memiliki sistem keamanan counter sabotage system atau sistem penangkal sabotase. Sistem keamanan tersebut, sangat berbeda jauh dengan sistem pesawat kepresiden Amerika Serikat, Air Force One. Pesawat Boeing seri 747-200B untuk presiden Amerika Serikat, dilengkapi persenjataan canggih seperti joint direct attack munition (JDAM), small diameter bomb (SDB), meriam otomatis M61A2 Vulcan 20 mm, hingga anti-rudal.

Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, setiba di Indonesia, pesawat kepresidenan akan disertifikasi di Kementerian Pertahanan dan selanjutnya diserahkan ke TNI AU. 
"Paling lama satu minggu. Begitu nanti sertifikat keluar, sudah bisa dioperasikan dan pesawat diserahkan ke TNI AU," kata Sudi.
Pesawat kepresidenan tersebut seharusnya tiba tahun 2013. Menurut Sudi, ada beberapa kendala sehingga pesawat baru tiba di bulan ini. "Ada masalah cuaca dan sebagainya ketika uji coba di Amerika dan karena itu mereka kena denda," katanya. (*)

Sumber : Tribunnews.com

Selasa, 08 April 2014

Presiden SBY : "Bagus ini, rapi. Mantap Pak Jokowi, saya suka".

CEC : Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menepuk-nepuk bahu kanan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia memuji atas selesai dibangunnya Rumah Sakit Umum Pekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara.
"Bagus ini, rapi. Mantap Pak Jokowi, saya suka," ujar SBY sambil menepuk bahu Jokowi di sela-sela peninjauannya di Ruang Unit Gawat Darurat RS Pekerja, Selasa (8/4/2014).
Jokowi tidak berkata apa-apa. Pria yang juga menjadi bakal calon presiden dari PDI-Perjuangan tersebut hanya mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum. Selain meninjau ruang UGD, SBY, Jokowi serta sejumlah menteri di kabinet Indonesia Bersatu Jilid II juga menyempatkan diri untuk meninjau ruang lainnya, seperti Radiologi, rawat inap serta beberapa ruangan lainnya. RS Umum Pekerja merupakan tindak lanjut atas kunjungan SBY ke kawasan industri di Batam yang juga mencanangkan pembangunan RS khusus pekerja, pembangunan perumahan untuk pekerja dan pengadaan bus bekerja. RS Umum pekerja di Cakung diwacanakan dalam Rapim Kementerian BUMN, 5 Februari 2013 yang diwujudkan pada 22 Februari 2013 dalam peresmian rumah sakit itu. 
RS Umum Pekerja dibangun di atas lahan milik PT KBN yang berbatasan dengan permukiman penduduk di Tipar Cakung, Jakarta Utara. Rencananya, sejumlah fasilitas akan melengkapi rumah skait ini, antara lain radiologi, UGD, kamar operasi, rawat inap, laboratorium, poliklinik, medical check up, fisioterapi dan kamar jenazah. Pembangunan RS diperuntukkan bagi pelayanan kesehatan para pekerja di wilayah KBN, luar KBN dan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. (*)

Sumber : TRIBUNNEWS.COM

Senin, 07 April 2014

"Amerika Serikat Menyayangkan Prabowo Subianto Sebagai Calon Presiden RI 2014 - 2019".


CECDepok : Dalam beberapa survei, nama Prabowo Subianto muncul sebagai calon yang kuat untuk pemilihan Presiden Indonesia pada Juli mendatang. Namun demikian, popularitas Prabowo tampaknya dipandang sebelah mata oleh Amerika Serikat.

Negeri Paman Sam menyayangkan pencalonan Prabowo sebagai Presiden RI periode 2014-2019 mengingat peran kemiliterannya dalam sejumlah kasus. 

“Sensitivitas (terhadap Prabowo) berasal dari hubungan erat antara militer AS dan Indonesia selama kekejaman militer Indonesia terjadi,” kata Jeffrey Winters, seorang profesor ilmu politik di Universitas Northwestern, seperti dikutip dari New York Times, 26 Maret 2014.

Prabowo, yang merupakan lulusan dari program pelatihan militer di AS pada 1980, merupakan pengagum Amerika. Namun, selama bertahun-tahun, keinginannya untuk bertemu pejabat tinggi AS selalu mendapat penolakan.

AS memang telah lama memasukkan Prabowo ke dalam "daftar hitam" terkait dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya. Bahkan, Departemen Luar Negeri AS sempat menolak visa Prabowo yang kala itu ingin menghadiri wisuda anaknya di sebuah universitas di Boston.

Tak hanya mendapat reaksi dari AS, pencalonan Prabowo telah memicu suara keprihatinan yang mendalam di antara aktivis hak asasi di Indonesia dan luar negeri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan merekomendasikan untuk dilakukan penuntutan terhadap Prabowo atas dugaan penculian aktivis pro-demokrasi pada akhir 1990-an, selama bulan-bulan terakhir pemerintah Suharto, yang saat itu menjadi mertuanya.

Berbagai tuduhan ditujukan kepada Prabowo. Beberapa kelompok hak asasi manusia menyerukan penyelidikan atas tuduhan bahwa ia memerintahkan pembantaian hampir 300 warga sipil di Timor Leste pada 1980-an, ketika ia masih menjadi seorang perwira muda. Namun, Prabowo dengan tegas membantah berada di tempat kejadian pembantaian atau memiliki keterlibatan di dalamnya.

Tuduhan lain menyatakan ia bertanggung jawab atas penculikan dan penyiksaan 23 aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997 dan 1998 serta mendalangi kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan 1000 kematian dan pemerkosaan terhadap setidaknya 168 wanita.

Seluruh tuduhan ini langsung dibantah Prabowo. Ia menyebut bahwa ia hanyalah kambing hitam dari semua tragedi tersebut. “Saya tidak pernah didakwa atas apa-apa. Itu hanya sindiran dan tuduhan semata. Banyak yang menganggap saya ancaman bagi demokrasi. Saya percaya pada demokrasi dan hak asasi,” kata Prabowo dalam bahasa Inggris. (*)

Sumber:ANINGTIAS JATMIKA,TEMPO.CO|NEW YORK TIMES

Minggu, 06 April 2014

Mengingatkan yang SENGAJA dilupakan !?

CECDepok : Hiruk pikuk pemilihan umum yg akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini semakin memanas. Partai yang merasa posisinya terjepit melakukan manuver dan serangan verbal kepihak lawan. Ada yg melalui media massa, media online bahkan di kampanye-kampanye terbuka. Dari yg mengeluarkan pernyataan terbuka sampai yang ber-sajak ria. Memang menarik, tapi inilah dinamika alam demokrasi.
Yang ingin penulis tekan-kan dalam edisi tulisan ini adalah mengajak pembaca melihat secara jernih ADA APA sebenarnya yg menjadi bahan yg dipakai pihak-pihak lawan yang ingin menjauhkan PDIP dari pemilihnya.
Untuk memulai topic ini pertama-tama, marilah kita kembali ke masa-masa akhir Orde Baru dan awal reformasi. Titik kulminasi dari kehancuran Orde Baru adalah kehancuran total di sector ekonomi yg berakibat kerusuhan rasial  dimulai dengan letupan kecil di Situbondo sampai yang dahsyat terjadi di Medan, Jakarta dan Solo pada medio April – Mei 1998. Ekonomi Indonesia berada di titik nadir. Rupiah menembus angka Rp.16.000 per-US Dollar dan roda ekonomi berhenti. Maka jatuh-lah Suharto dan lahirlah era Reformasi. Saat itu interim-presiden Habibie dengan Timor Timur fiasco-nya  dan aroma Orba-nya yg terlalu menyengat  tidak mendapatkan vote confident dari rakyat. Dengan demikian diputuskan untuk diselenggarakan Pemilu 1999. Saat itu kembali ekonomi yg sempat stabil sesaat kembali terguncang.
Pemilu 1999 yang menjadi tonggak sejarah reformasi berakhir dengan kecacatan fatal. Keblunderan manuver politik yang dimotori Poros Tengah (PAN, PBB, PPP)  jilid satu ini berimbas sampai bertahun-tahun kemudian.
Penulis sendiri masih mengingat jelas disaat itu begitu gegap gempitanya massa PDI-P memerahkan Indonesia. Rakyat muak, rakyat marah terhadap Orde Baru dan Golkarnya dan bisa ditebak akhirnya PDIP-lah keluar sebagai pemenang karena rakyat melihat . Yang berhak maju sebagai presiden secara de-facto adalah yang memenangkan pemilu. Namun sayangnya, adalah segelintir oknum tokoh politik dengan agenda-nya sendiri melakukan intirk-intrik kotor atas nama konstitusi dengan mencari celah memakai taktik SARA. Saat itu penulis masih nge-kost di wilayah Kemanggisan Jakarta Barat dan selebaran yang dengan jelas memainkan kartu agama dan dikaitkan dengan gender pemenang pemilu terpampang jelas dipintu warung-warung di sepanjang tempat tinggal penulis.
Megawati yang seharusnya menjadi pemenang ditelikung oleh Poros Tengah dengan memajukan Gus Dur sebagai presiden. Untunglah, Megawati adalah tokoh politik yang sangat negarawan. Beliau mampu mengendalikan akar rumputnya demi keutuhan NKRI. Ini adalah fakta nyata. Namun sayangnya, ketidak puasan Poros Tengah berlanjut dengan manuver politik versi kedua yg jelas-jelas merongrong konstitusi melakukan “impeachment” terhadap presiden yang sah dan yg nyata-nyatanya tidak ada dalam konstitusi Negara saat itu dengan alasan yg sengaja dibuat. Gus Dur hanya diberi kesempatan mengemban kepresidenan tidak lebih dari satu setengah tahun. Dan dengan menjilat ludah-nya sendiri, kelompok oportunis Poros Tengah ini menaikkan Megawati sebagai presiden RI menggantikan Gus Dur. Seharusnya, kalau Poros Tengah gentlemen, apa tidak sebaiknya malah mengusulkan pemilu ulang ? Inilah yg penulis mengibaratkan Poros Tengah ini dengan pepatah “ Nafsu besar tapi tenaga nang hodong !!”. Yang menjadi korbannya pihak oportunis ini bukan saja presiden-presiden berikutnya, namun juga rakyat-lah yang dikorbankan !!
Jadi sudah jelas dari kronologi events diatas dari awal gonjang-ganjing krisis ekonomi Asia 1997 sampai Juli 2001, Indonesia selalu kehilangan momentum untuk recovery ekonominya. Sebagai imbasnya, kas Negara dalam kondisi kosong. Disamping itu, Letter of Intent yang ditanda tangani Suharto dengan IMF membuat Negara ini semakin sengsara.
Keadaan saat itu adalah suatu mimpi buruk bagi siapa-pun presiden-nya. Mari kita berpikir secara jernih sesuai fakta kondisi bahwa kesulitan  yang dihadapi Megawati yang sedemikian tinggi itu sangat beruntung sekali dapat dipecahkan oleh team-nya yang kuat. Mari kita pelajari kambali beberapa hal yang menjadi sasaran tembak partai lain mengenai kebijakannya saat itu seperti:
Swastanisasi Aset Negara
Ini topik favorit bagi para politikus oportunis yang lebih mengutamakan kata bombastis daripada fakta kebenaran. Apakah benar Megawati melakukannya secara membabi buta ? Mari kita perhatikan fakta ini. Masa sistem persidensial saat itu merupakan warisan Orde Baru yang dimana presiden itu adalah MANDATARIS MPR. MPR menelurkan ketetapan-ketetapan dimana Presiden diinstruksikan untuk menjalankannya. MPR yang dimotori oleh Poros Tengah menelurkan TAP MPR no.10 tahun 2001 menugaskan Presiden sebagai mandataris MPR untuk untuk tetap melanjutkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Dalam bidang ekonomi dan keuangan, Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden untuk segera menyusun rencana tindak swastanisasi. Tap MPR No. X tahun 2001 ini juga menugaskan kepada Presiden untuk melakukan penjualan aset-aset yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN).
Jadi disini terlihat jelas, siapa sebenarnya yg memotori penjualan asset bukan? Ini semua terjadi karena saat itu ketidak becus-an para anggota MPR dari masa dua presiden sebelumnya yg tidak berani mengeluarkan TAP yg meneriakkan ketidak adilan ini. Sebagai presiden saat itu Megawati dihadapkan ke suatu kondisi “DAMN YOU DO IT, DAMN YOU DON’T”.
Perlu digaris bawahi disini, adalah presiden setelah Megawati menikmati alam kebebasan tirani IMF, kenapa? Karena di masa pemerintahan Megawati lah, Keputusan pemerintahan Megawati untuk mengakhiri seluruh paket kebijakan IMF pada Desember 2003 ini sesungguhnya telah meletakkan landasan dan menjelaskan mengapa pemerintahan berikutnya tidak lagi terjebak oleh kondisi dan persyaratan yang dipaksakan oleh IMF.
BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
Ini juga merupakan topic favorit bagi pihak-pihak tertentu yang seakan-akan Megawati-lah yang mengucurkan bantuan tak terkendali itu. Kebijakan BLBI ini adalah ekses dari salah satu kesepakatan IMF dimana diperkuat dengan TAP MPR juga.  Oleh TAP MPR jugalah Presiden diinstruksikan untuk memberikan kejelasan hukum terhadap pengusaha yg terlibat BLBI. Maka saat itu dikeluarkanlah keputusan SP3 oleh kejaksaan.
Banyak masyarakat Indonesia tidak tahu sesungguhnya Megawati bahkan telah mengeluarkan suatu perintah untuk mengambil tindakan hukum kepada pihak pengusaha yang tidak menyelesaikan kewajibanannya. Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 yang dibuat oleh Megawati secara tegas telah menugaskan kepada pimpinan Polri dan Kejaksaaan Agung sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia untuk mengambil tindakan bagi para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN. Inpres ini tidak pernah dicabut dan tentu saja seharusnya tetap berlaku sebagai landasan ketentuan hukum untuk memaksa pemerintahan pasca Megawati mengambil tindakan-tindakan hukum.
Sipadan dan Ligitan
Kasus sengketa regional ini sudah terjadi cukup lama bahkan dijaman puncak-puncaknya Orde Baru. Kekalahan ini tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan masa Megawati. Patut disesalkan lemahnya diplomasi RI dalam hal sengketa ini. Disinilah titik awal dari keberanian dan kekurang ajaran  Malaysia terhadap Negara kita ! Tentunya ini tidak seberapa sakitnya disbanding dengan apa yg dilakukan oleh pemerintahan transisi BJ Habibie yg mengakibatkan Timor Timor lepas dari ibu pertiwi.
Penjualan Gas Tangguh
Ini juga merupakan sasaran tembak empuk pihak lawan yang sayang sekali dengan nyaman menutup fakta dan kenyataan kondisi saat itu. Ingat, tahun 2002 adalah tahun dimana ekonomi masih sangat compang camping karena keblingeran para politisi busuk. Fakta yang terlupakan adalah disaat itu harga jual gas masih terpatok dengan harga minyak yang pada decade itu masih tidak setinggi sekarang dipasar dunia. Satu liter bensin di kota Ottawa ditahun itu hanya sekitar $0.45 dan bandingkan dengan saat ini yang $1.35 per-liter !!
Perlu diperhatikan juga saat itu market untuk gas dunia adalah pasar pembeli bukan penjual. Dimana produsen itu didikte harga dari pasar pembeli. Penjualan dengan system Spot market ini sangat lemah dan salah satu target Indonesia saat itu adalah menambah kas APBN. Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan RRT dimulai dari penghujung era pemerintahan Suharto, dan semakin akrab di pemerintahan Gus Dur, membawa hawa positif dalam bidang ekonomi. RRT bersedia menjadi pembeli Gas Tangguh yang dimana di mata Indonesia saat itu sangat desperate untuk mengaet kepercayaan pihak luar demi economy recovery. Akhirnya memang tidak sia-sia dengan berhasilnya menarik pembeli dari Korea Selatan dan Mexico setelah berhasil menggaet RRT.
Persoalan dikemudian hari mengenai lonjaknya harga gas dunia itu memang sedari awal tidak ada  pihak manapun yang bisa memprediksi demikian. Terlepas dari itu, kontrak jangka panjang itu bukan-lah suatu hal yang mengikat kuat. Kontrak ini terbuka celah dimana antara produsen dan konsumen terbuka untuk re-negosiasi. Ini adalah hal yang lumrah dan terjadi dinegara mana-pun. Kenyataan pemerintah SBY di tahun 2006 gagal merenegosiasi harga tersebut disinyalir adanya mis-trust diantara kedua pemerintahan  ini dengan apa yang terjadi dengan mis-handling pembelian pesawat Merpati dan Pembangkit  Listrik 10.000 MW. Sekali lagi re-negosiasi adalah hal yang lumrah dan bisa diusahakan !!
PDI-P Partai Terkorup?.
Oke, memang PDI-P tidak terluput dari kubangan korupsi, namun apakah benar tembakan yang menyatakan partai terkorup ? Sesuai versi siapa laporan ini ? Setahu penulis, yg pertama melemparkan isu ini tidak lain adalah SBY yang saat itu partai-nya terguncang maha dahsyat karena kasus mega korupsi Hambalang. Beliau dengan kalap berusaha untuk mengalihkan perhatian. Mari kita pelajari data yang akurat berdasarkan indeks dari KPK Watch update Maret 2014. (*)

Sumber : Kompasiana.