Selasa, 26 Maret 2013

DANA ASPIRASI DPRD MERUPAKAN PELANGGARAN



CEC : DEPOK- Maret (26/3/2013) Dana Aspirasi atau Paket Aspirasi untuk Anggota DPRD masuk katagori GRATFIKASI atau SUAP yang merupakan bagian dari persengkokolan (KKN)... Bisa jadi, Persengkokolan yang dilegalkan ( Misal, jika dibuatkan Perda). Persengkokolan yang dimaksud adalah Antara LEGISLATIF dan EKSEKUTIF. Dana Aspirasi/proyek aspirasi DPRD juga dilarang. Pelarangan ini diatur dalam Undang – undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010 tentang Tatib DPRD dan PP no 24 tahun 2004 tentang kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.

Didalam keempat peraturan tersebut tidak ada diatur mengenai dana aspirasi bagi anggota DPRD

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2004 jelas mengatur keuangan anggota DPRD, dan di dalam PP Nomor 16 tahun 2010 juga jelas diatur mengenai hak, kewajiban dan kode etik DPRD bahkan dalam pasal 91 huruf i menyatakan pelaksanaan perjalanan dinas anggota DPRD berdasarkan ketersediaan anggaran. Pasal 98 ayat (3) anggota DPRD dilarang melakukan KKN serta dilarang menerima gratifikasi, dengan sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD sebagaimana ditegaskan dalam pasal 99 ayat (2).
Permintaan anggota DPRD meminta paket proyek di Dinas PU (Pekerjaan Umum ) yang diperuntukkan sebagai dana aspirasi adalah benar-benar memalukan dan melanggar hukum. Jika alasannya dana apirasi maka lebih fatal lagi akibatnya. Dan aspek gratifikasi terjadi, sebab, Anggota DPRD juga menikmati "FEE" dari Keuntungan proyek tersebut. FATALnya lagi, bahkan anggota DPRD menawarkan proyek tersebut ke piohak ketiga. Di Depok, paket aspirasi DPRD sudah terjadi tahun 2010, 2011,2012 dan sekarang tahun 2013.

KASUS DEPOK :

Di Depok, soal proyek aspirasi DPRD sudah berjalan hampir 3 tahun. Hal ini mulus saja berjalan. Padahal sebenarnya Depok dalam sorotan. Fatalnya jika kasus ini dibedah, maka, tentu ada dua pihak yang harus menanggung yakni Legislatif dan eksekutif. Keduanya bisa disidik dan dipenjarakan.
SOAL gratifikasi atau hadiah dahulunya tak lain sebagai ucapan terima kasih bukan hal yang asing. Setiap hari raya tiba, rumah pejabat biasanya dipenuhi parsel-parsel yang dikirim oleh koleganya. Kala itu, tak ada undang-undang khusus layaknya UU Tindak Pidana Korupsi yang melarang gratifikasi. Karenanya, dahulu sebagai hal yang wajar. Lebih lanjut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya melarang pejabat negara menerima sesuatu hadiah. Tetapi larangan ini tak ditegakkan, karena itu sudah menjadi budaya. Lagipula, ini kan hanya pemberian hadiah biasa. Akibatnya membudaya.
Secara hukum ada dua jenis gratifikasi. Pertama, gratifikasi atau pemberian hadiah biasa yang diberikan kepada pejabat negara tanpa imbalan apa pun. Kedua, gratifikasi yang dapat dikategorikan sebagai suap karena si pemberi hadiah berharap adanya imbalan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
Dua jenis gratifikasi itu sudah secara tegas dilarang oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Gratifikasi yang berupa pemberian hadiah biasa diatur oleh Pasal 11 UU Tipikor, sedangkan Pasal 12B mengatur gratifikasi yang berujung ke penyuapan. Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

3. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

4. Pasal 12 UU Tipikor

5. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;

6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12B ayat [1] UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap. Gratifikasi dan suap sebenarnya memiliki sedikit perbedaan, lebih lanjut dapat disimak artikel Perbedaan Antara Suap dengan Gratifikasi.

Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor, sebagai berikut:

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Informasi lebih lanjut mengenai gratifikasi dapat dibaca dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Di dalam buku tersebut (hal. 19) diuraikan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:

1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya

2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut

3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma

4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan

5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat

6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan

7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja

8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

Akan tetapi, menurut Pasal 12C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi (Pasal 12C ayat [2] UU Tipikor).

Jadi, ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya. Depok, (Guntur A Bimo/Gatot) - cy.