Rabu, 12 Juni 2013

MPR MENDESAK PEMERINTAH MENERBITKAN SURAT KETERANGAN LUNAS UNTUK BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA

SURAT KETERANGAN LUNAS UNTUK BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA


CEC : merdeka.com > Mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi mengatakan saat krisis moneter terjadi, pemerintah didesak menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 
Saat itu, kata dia, Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai mandataris MPR diperintahkan MPR untuk menyetujui penerbitan SKL kepada sejumlah obligor pengemplang BLBI. Bahkan, menurut Laksamana, jika Mega saat itu tidak mematuhi, maka dapat dimakzulkan jabatannya. "Ada Tap MPR yang memberikan perintah kepada Presiden untuk memberikan kepastian hukum. Waktu itu zaman Ibu Mega, Presiden masih mandataris MPR. Jadi ada Tap MPR yang kalau beliau melanggar, beliau bisa dimakzulkan," ujar Laksamana usai diperiksa KPK di Jakarta, Selasa (11/6) malam.

Menurut Laksamana, penerbitan SKL sudah merupakan produk konstitusi. Hal tertuang dalam Tap MPR Nomor 10 Tahun 2000.
"Kalau pemberian SKL itu sudah amanat MPR karena bagi yang selesai Tap MPR No 10 tahun 2000, meminta Presiden untuk mempercepat penjualan aset BPPN dan juga untuk memberikan kepastian hukum bagi yang kooperatif, untuk yang tidak kooperatif ya harus diberikan sanksi hukum juga. Kalau SKL itu sudah merupakan produk konstitusi," paparnya.

Dalam mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002, SKL BLBI dikeluarkan berdasarkan Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Terkait proses pemberian SKL itu, menurut Laksamana, para obligor harus memenuhi kewajiban yang sudah disepakati. Namun, jika ada kejanggalan, hal itu dapat ditinjau kembali karena terdapat exit-claus (pengakhiran perjanjian). "Tapi kan, Ada exit claus-nya juga. Kalau di kemudian hari diketemukan adanya miss interpretasi, ya itu bisa ditinjau lagi," ujarnya.

Laksamana mengatakan jika ada obligor 'nakal' yang membayar tidak sesuai kewajiban, maka dapat dilihat kembali siapa yang saat itu melakukan evaluasi. Dalam proses pemberian itu, menurut Laksamana, terdapat evaluasi dan instruksi berdasarkan keadaan ekonomi yang normal. "Kalau itunya ya, waktu penyerahan itu kan ada evaluasi. Itu ada instruksi berdasarkan pada kondisi ekonomi yang normal. Normal itu kan yang normal. Tentu yang terjadi over evaluasi waktu diserahkan. Sedangkan waktu penjualan di mana ekonomi sedang hampir sekarat, harganya pasti jatuh cuma kan ada Tap MPR itu mengatakan harus konsisten melaksanakan MSSA. Itu sudah produk konstitusi kita, yang Presiden Megawati juga harus mengikutinya," paparnya.

Hari ini, mantan politisi PDIP itu dimintai keterangan oleh KPK terkait penyelidikan kasus BLBI. Laksamana mengaku banyak dicecar soal sidang kabinet saat penerbitan dan pemberian SKL kepada sejumlah obligor. Laksamana dipanggil lantaran dirinya juga turut hadir dalam sidang kabinet saat itu.
"Intinya, cuma diminta klarifikasi tentang sidang kabinet dan yang hadir bukan saya saja. Yang lain, entar juga diundang," tutupnya.

Sebelumnya, KPK pernah meminta keterangan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli dan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.
Kasus BLBI terjadi pada krisis moneter 1998 di Indonesia. BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Skema itu berdasar perjanjian Indonesia dengan IMF untuk mengatasi krisis. Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Pemerintah saat itu Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui penerbitan SKL kepada sejumlah obligor pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pemberian SKL dianggap merupakan kebijakan kriminal atau criminal policy. Hasil Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. [ren] - cec

Tidak ada komentar: