Senin, 16 September 2013

KETIDAKBECUSAN NURMAHMUDI MENGELOLA DEPOK

"SAMPAI SEKARANG, TIDAK ADA CETAK BIRU AKAN DIBAWA KEMANA ARAH PENGEMBANGAN KOTA DEPOK KEDEPAN"

CEC : Sejak ditetapkan sebagai Kotamadya sesuai UU No. 15 tahun 1999, kota Depok telah berubah, mengikuti dinamikanya. Pusat perbelanjaan, ruko, apartemen, dan perumahan berdiri nyaris di setiap sudut kota. Kenyamanan mana lagi yang bisa diharapkan dari sebuah entitas yang punya relasi erat dengan Jakarta ini ?. Depok berubah menjadi kota yang kian kompleks seiring pembangunan fisik, terutama properti dan pertumbuhan populasi yang melebihi daya dukungnya. Kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari, banjir di beberapa lokasi, gersang dan semrawut. Masalah kian berat kala jumlah populasi mengalami pertumbuhan pesat, meleset dari proyeksi tahunan. Menurut hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, jumlah penduduk kota ini telah mencapai 1.898.576 jiwa dengan densitas pada angka 9.479 jiwa per kilometer persegi. Terdapat pertambahan penduduk sebanyak 159.997 jiwa dari tahun 2010. Sementara tahun 2005, kota ini dihuni oleh 1.374.522 orang dengan kepadatan mencapai 6.863 jiwa/km2. Ini artinya, selama lima tahun jumlah penduduk membengkak sebanyak 364.048 orang. Dengan mengabaikan berbagai faktor dan hanya melihat dari data, rerata pertumbuhan penduduk selama lima tahun tersebut adalah 72.809 orang setiap tahunnya. Sementara, sejak 2010 hingga 2012, rerata pertambahan sebanyak 79.998 orang. Dengan penambahan sebanyak ini, sesaknya Kota Depok memang terkonfirmasi. Pemerintah Kota Depok dalam situs resminya mencatat, peningkatan jumlah penduduk disebabkan oleh tingginya arus migrasi urban. Hal ini tampak dari pesatnya pembangunan hunian berikut ruang komersialnya yang dilakukan secara sporadis, cenderung tidak tertata.
Periode pertama Nurmahmudi sebagai Pengelola Depok (2005-2010) Depok berpredikat sebagai Kota Terkotor di Indonesia, dan Sungai Ciliwung yang melintasi wilayah Kota Depok disebut sebagai Keranjang Sampah Terbesar se Dunia. Kemudian, pada periode keduanya (2010-2015) Nurmahmudi "Menorehkan tinta emas dalam sejarah Kota Depok", sehingga pada tahun 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai dan menyebut Depok merupakan Kota Terkorup dan Kota Terburuk dibanding Kota-Kota lainnya diseluruh Indonesia. Ketika dikonfirmasi pada waktu itu, Nurmahmudi mengatakan : "Saya tidak perlu berkomentar, nanti akan semakin berpanjang-panjang", kata Nurmahmudi ketika itu.

Sementara, pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, menilai, Depok dalam tataran realita telah mengalami diskoneksi (keterputusan) dengan sumber-sumber daya yang dimilikinya. Kota ini terlalu berorientasi pada Jakarta, namun abai mengelola potensi yang justru bisa dijadikan nilai tambahnya. Salah satu potensi tersebut tergambar pada pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2012 IPM kota dengan 11 kecamatan ini sebesar 79,49. Angka ini merupakan IPM tertinggi di Jawa Barat dan urutan ke-3 di tingkat nasional. "Siapa yang tidak kenal Universitas Indonesia (UI)? Perguruan Tinggi terbesar dan paling populer di Negara ini, menyimpan periset-periset dan dosen andal. UI harusnya bisa menghasilkan lebih dari sekadar periset, melainkan pekerja-pekerja kreatif. Merekalah yang seharusnya berkontribusi menyumbangkan gagasan, pemikiran sekaligus produk yang ramah industri dan kapital sehingga bernilai ekonomis," ujar Marco Kusumawijaya kepada Kompas.com, Jumat (13/9/2013).
Bila itu dilakukan sejak lama, lanjut Marco, sudah dari dulu Depok tumbuh sebagai kota modern yang dapat menghidupi dirinya sendiri sekaligus mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya. Kota ini bisa berlari pesat lebih dari sekadar memiliki sepuluh 21 pusat belanja, 12 perguruan tinggi, 26 situ maupun angka partisipasi kerja yang mencapai 63 persen (data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Depok 2011).


Secara terpisah, menurut Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA, Universitas Indonesia, Tarsoen Wiryono, Depok dapat dikembangkan lebih baik lagi dengan desain lebih besar ketimbang sebagai "Kota yang Maju dan Sejahtera" sebagaimana slogan yang kerap didengungkan. "Kota yang dilengkapi economic base yang sesuai dengan kapasitas sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang harus dikembangkan Pemerintah Kota. Sayangnya, Depok tidak cerdas melihat potensi ini. Sampai sekarang tidak ada cetak biru akan di bawa kemana arah pengembangan Depok ke depan," kata Tarsoen.

Sumber : KOMPAS.com/dbs

Tidak ada komentar: