Minggu, 08 September 2013

TIDAK ADA KAWAN SEJATI ATAU LAWAN SEJATI , YANG ADA HANYALAH KEPENTINGAN ABADI

CEC : Politik memang sebuah dunia yang tidak pernah sepi perbincangan. Istilah kata itu sendiri sudah sekian lama memancing debat dalam sejarah pemikiran manusia. Dalam perjalanan peradaban manusia, politik, politisi, praktik, dan pemikiran politik juga telah memancing minat dari para pemikir dan ilmuan politik. Tidak sedikit karya yang lahir, tidak terhitung tokoh yang muncul, semuanya mengalir bersamaan dengan kegemilangan dan kemunduran sebuah zaman. Dalam perjalanan waktu, berbagai pertanyaan muncul, berbagai persoalan mencuat ke permukaan, dan berbagai jawaban dicoba diajukan. Politik dianggap sebagai wilayah kotor, padat kepentingan, penuh persaingan, penuh intrik, penuh konflik, penuh kebohongan, dan hipokrisi. Menurut mereka, manipulasi dan ketidak jujuran adalah asam garamnya dunia politik. Apa yang dikatakan seorang politisi belum tentu sesuai dengan apa yang dirasakan atau dipikirkannya dalam hati. Seorang politisi bisa berpura-pura tersenyum ramah kepada orang yang dibencinya. Pada saat yang tidak lama kemudian berubah menjadi pendukungnya yang sangat setia. Bukankah dengan begitu politik memang sebuah dunia yang tidak pernah sepi sendiri. Diantara sekian persoalan yang mengiringi perjalanan sejarah pemikiran politik, dan di antara sejarah yang mengiringi perjalanan sebuah bangsa, persoalan-persoalan yang berdimensi politik pun muncul. Pada saat bersamaan muncul pula sejumlah figure yang mencoba membangun wacana untuk merespons persoalan politik yang dihadapi bangsanya. Diantara persoalan-persoalan itu, ada gugatan seperti tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah menjadi klasik. Pertanyaan itu misalnya, benarkah merupakan hal yang utopis mengharapkan bahwa politik harus dipandu dengan moral ?. Atau sebaliknya, persentuhan yang intens antara politik dan moral justru menjadi sebuah keniscayaan, terutama dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang belum juga menunjukkan tanda-tanda kematangan dalam berpolitik. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, memang telah memancing debat yang cukup melelahkan. Karena politik itu sudah terlanjur dipandang sebagai dunia yang penuh kepura-puraan, ketidakjujuran, kemunafikan, intimidasi, saling mencurigai, saling sikut, saling ganjal, tidak ada kebaikan, tidak ada norma, penuh kekerasan atau praktik-praktik kotor lainnya. Dalam politik misalnya, kita sudah sering mendengar ungkapan bahwa : “Tidak ada kawan sejati atau lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Ketika kepentingannya sama, maka mereka berkawan. Tetapi, ketika kepentingannya berbeda atau bertentangan, maka mereka menjadi lawan. Ketika telah berada pada posisi lawan, maka berlakulah adagium : “To kill or to be killed (membunuh atau dibunuh)”. Kenyataan inilah yang sering dalam realitas memang gamblang adanya menyebabkan politik dipandang sebagai wilayah yang tidak memiliki keterkaitan dengan persoalan moral atau etika. Karena itu tidak heran kalau sekiranya kejujuran, saling menghormati, saling percaya dan menghargai serta sikap amanah dalam berpolitik dianggap merupakan sesuatu yang aneh. Maka moralitas dalam berpolitik pun menjadi barang mewah. Dalam konteks inilah, politik berwawasan moral sepertinya bukanlah suatu kemestian. (cec/dbs)

Tidak ada komentar: