CEC, Depok.
Ketika pemberitaan tentang Depok yang berpredikat Kota Terkotor se-Indonesia sangat marak pada tahun 2006, bahkan Sungai Ciliwung disebut sebagai ”keranjang sampah” terbesar di-dunia, Pemerintah Kota Depok mencanangkan program Sistem Pengolahan Sampah Terpadu (sipesat). Ternyata, program sipesat tersebut gagal, karena pelaksanaan pembangunannya hanya berdasarkan penunjukan langsung (PL) tidak melalui tender/lelang. Maka, terjadi konflik horizontal antara Walikota dengan DPRD sehingga Dewan terbagi 2 kubu. Kubu yang mendukung program Sipesat sebanyak 12 orang anggota (PKS) sedangkan kubu yang tidak mendukung/menolak sebanyak 33 orang anggota (Golkar 8 orang, Demokrat 8 orang, PAN 5 orang, PDIP 5 orang, PPP 4 orang, PKB 2 orang dan PDS 1 orang). Kemudian, DPRD membentuk Pansus Sipesat dengan hak interpelasi dan hak angket, namun pada akhirnya kasus Sipesat berhenti di kejaksaan.
Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah mengamanatkan, bahwa setiap Pemerintah Daerah berkewajiban membangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) dengan ketentuan, jarak antara lokasi bangunan UPS dengan pemukiman warga minimal 1 km.
Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok yang dipimpin oleh Nurmahmudi sebagai walikota sejak tahun 2006, membangun UPS diseluruh wilayah Kota Depok sebanyak 20 unit dengan nilai sebesar Rp. 18,3 milyar. Namun, pembangunan UPS tersebut sebagian besar ditolak oleh warga masyarakat setempat karena lokasinya berdekatan dengan pemukiman mereka.
Dalam Sidang Paripurna DPRD Kota Depok ketika membahas RAPBD 2010, walikota Depok Nurmahmudi mengungkap, bahwa Depok masih menyandang predikat Kota Terkotor se-Indonesia. ”Depok masih menyandang predikat kota terkotor se-Indonesia, karena hanya 30 % sampah yang dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir”, ungkapnya. Cy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar