CEC DEPOK : VIVAnews - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat melayangkan usul hak interpelasi kepada pemerintah terkait penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 236 Tahun 2011. SK yang dikeluarkan Menteri Dahlan Iskan itu ditengarai melanggar Undang-undang dan bahkan konstitusi.
"Semalam sudah kami sampaikan ke pimpinan dalam rapat paripurna usulan itu," kata Aria Bima, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menjadi inisiator usulan hak ini, saat berbincang dengan VIVAnews, Jumat 13 April 2012.
SK No 236/ 2011 ini, kata Bima, sudah dinyatakan Komisi VI DPR bermasalah. Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-236/MBU/2011 tentang Pendelegasian Sebagian Kewenangan dan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara BUMN sebagai Wakil Pemerintah selaku Pemegang Saham/RUPS pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas serta Pemilik Modal pada Perusahaan Umum (Perum) kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN ini bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Setidaknya, ada empat kasus dalam SK tersebut yakni:
1. Penunjukan direksi BUMN tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga melanggar Pasal 15 UU No. 19/2003 tentang BUMN;
2. Penunjukkan direksi BUMN tanpa melalui Tim Penilai Akhir (TPA), sehingga mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas, seperti diamanatkan Pasal 16 UU No.19/2003 tentang BUMN;
3. Pengangkatan kembali direksi BUMN yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akibatnya melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), seperti diamanatkan Pasal 5 ayat (3) UU No. 19/2003 tentang BUMN.
4. Pengangkatan kembali direksi BUMN untuk masa jabatan ketiga kalinya, sehingga melanggar UU tentang BUMN. Menurut Pasal 16 ayat 4 UU No. 19/2003 tentang BUMN, “Masa jabatan direksi BUMN ditetapkan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.”
Selain itu, Bima menyatakan, SK itu juga memberikan pelimpahan wewenang kepada direksi BUMN untuk melakukan penjualan aset. Akibatnya, diduga kuat, telah terjadi penjualan aset BUMN, dengan kata lain aset negara, yang dilakukan langsung oleh direksi BUMN terkait tanpa melalui mekanisme yang seharusnya. Padahal, sesuai pasal 24 ayat (5) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 45 dan 46 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, Presiden, dan atau Menteri Keuangan, sesuai tingkat kewenangan masing-masing. "Lha ini, masak penjualan aset bisa dilakukan eselon I?" kata Bima.
Bima menceritakan, sudah dua kali rapat Komisi VI meminta Dahlan merevisi SK tersebut. Akhirnya pada rapat kedua itu, Dahlan meminta waktu dua minggu untuk mempelajari masukan DPR. Namun pada rapat ketiga, kata Bima, Dahlan menyatakan SK tersebut sedang dimintakan fatwa ke Mahkamah Agung. "Padahal ini kan jelas, Undang-undang mengatur," kata Bima. Karena itulah, Bima bersama sejumlah rekan-rekannya lalu membuat inisiatif interpelasi. "Sudah 32 orang yang tanda tangan, dari tujuh fraksi," kata Bima. Hanya politisi Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa yang tidak ikut meneken. "Tapi secara substansi, Demokrat sebenarnya setuju karena dalam rapat Komisi mereka juga menyampaikan yang sama," kata Bima. (cy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar