SAAT ISLAM DENGAN PANCASILA SUDAH BERSAHABAT
Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
  
Saat bala tentara Jepang masih punya kekuasaan di Indonesia sekitar 2,5
 bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, pertarungan sengit antara Islam 
dan Pancasila untuk diusulkan sebagai dasar filosofi negara telah 
terjadi. Medan pertarungan itu adalah dalam sidang-sidang BPUPK (Badan 
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan). Islam diwakili 
tokoh-tokoh puncak kelompok santri, seperti Agus Salim, KH Wachid 
Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Sanoesi, Kahar Muzakkir, sedangkan di 
pihak Pancasila muncul Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan 
para pemimpin nasionalis lainnya. Sekiranya Ketua BPUPK Dr KRT Radjiman 
Widiodiningrat tidak menanyakan tentang dasar filosofi negara yang mau 
merdeka, kita tidak tahu apakah negara Indonesia akan punya dasar atau 
tidak. Yang paling serius menjawab tantangan Radjiman itu adalah Bung 
Karno dalam pidato 1 Juni 1945 yang terkenal itu. Pidato inilah yang 
menjadi sumber Pancasila itu, tidak yang lain. Pancasila yang sekarang 
ini, sekalipun bersumber dari Bung Karno, perumusannya telah mengalami 
perubahan, tetapi bilangan silanya tetap lima. Perdebatan antara 
golongan santri dan nasionalis pada Juni itu kemudian menghasilkan 
sebuah titik temu dalam bentuk Piagam Jakarta, tertanggal 22 Juni 1945, 
dengan sila-silanya sebagai berikut:
 
 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
 3. Persatuan Indonesia.
 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
 Piagam ini hanya berumur 57 hari sebab pada 18 Agustus 1945, demi 
persatuan bangsa maka atribut “dengan kewajiban menjalankan syariat 
Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ yang terdapat pada sila pertama dihapus 
dan posisinya digantikan oleh ungkapan “Yang Maha Esa“ sehingga bunyi 
lengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Pancasila rumusan 18 
Agustus inilah yang kita gunakan sekarang.
 Dalam perkembangan 
selanjutnya, golongan santri rupanya tidak terlalu bahagia dengan 
Pancasila 18 Agustus itu, apalagi dengan Pancasila UUD 1949/UUDS 1950. 
Dalam sidang-sidang Majelis Konstituante, 1956-1959, ketidakbahagiaan 
itu mereka lontarkan kembali dengan menggugat rumusan ini dan mengajukan
 Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan Pancasila. Gugatan ini 
sepenuhnya benar secara konstitusional karena UUDS 1950 memang membuka 
pintu untuk itu. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, pergulatan tentang 
dasar negara dalam majelis pembuat UUD ini berjalan sangat alot karena 
tidak satu pihak pun yang berhasil mengegolkan usulannya sebagaimana 
yang diminta oleh UUDS. Kesulitan konstitusional inilah kemudian yang 
“memaksa“ Bung Karno untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang terkenal
 itu. Dengan dekrit ini, Pancasila 18 Agustus dan UUD 1945 dikukuhkan 
kembali dan Majelis Konstituante dibubarkan. Akibatnya, suhu politik 
menjadi sangat panas ketika itu ditambah lagi sangat panas ketika itu 
ditambah lagi dengan maraknya pergolakan daerah yang mengkristal dalam 
bentuk PRRI/Permesta sejak 1958 yang telah menguras energi bangsa 
Indonesia.
 Ironisnya, Dekrit 5 Juli juga dipakai Bung Karno untuk 
melaksanakan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang minus demokrasi
 itu, tetapi kemudian berakhir dengan sebuah malapetaka nasional. 
Kekuasaan Bung Karno pun tidak bisa bertahan untuk kemudian digantikan 
oleh era Demokrasi Pancasila (1966-1998) dengan Presiden Soeharto 
sebagai penguasa tunggal. Pada era inilah, petarungan Islam dan 
Pancasila memasuki tahap terakhir dengan segala masalah dan dinamika 
politik yang menyertainya. Ringkasnya, sejak itu Pancasila sebagai dasar
 negara secara formal konstitusional telah sangat mantap. Jika masih ada
 pihak-pihak yang menggugat Pancasila, kekuatan mereka hanyalah berupa 
riak-riak kecil yang tidak akan mengubah dasar filosofi konstitusi 
Indonesia. Dalam ungkapan lain, Islam dan Pancasila telah sangat 
bersahabat. Pertarungan selama bertahun-tahun sebelumnya telah berakhir 
untuk tidak diulang lagi. Semua pihak sekarang sudah sama-sama menyadari
 bahwa mempertentangkan Islam dan Pancasila seperti yang pernah terjadi,
 ditengok dari kacamata kedewasaan berbangsa adalah sebuah keteledoran 
sejarah dari negara yang berusia sangat muda ketika itu.
 ----------
 Ahmad Syafi'i Ma'arif, pria kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung (Sumatera 
Barat) 31 Mei 1935 adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah.
 Beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai 
komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya pluralis, kritis, dan bersahaja 
telah memposisikannya sebagai Bapak Bangsa. Ia tidak segan-segan 
mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya
 sendiri. (cy)
 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar