PENUTUPAN DUTA RESIDEN MERUPAKAN KORBAN FITNAH
CEC : Depok Pajajaran News - Dunia usaha mati suri akibat kebijakan
Pemkot Depok mem-pending up-grade perizinan Duta Residence (DR) menjadi
hotel, itu membuktikan bahwa Pemkot sangat lemah dalam penegakan hukum,
aturan dan penciptaan lingkungan kondusif bagi investasi. Seharusnya
Pemkot segera memediasi dan mencari solusi agar win-win solution agar
keputusan benar-benar didasarkan fakta.
Direktur Duta Residence (DR)
Edi Faisal mengaku kecewa dengan sikap Pemerintah Kota Depok yang
terkesan berdiam diri atas kasus yang menimpa usahanya. Padahal apa yang
dituduhkan beberapa gelintir warga Kampung Sugutamu, Kelurahan
Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, tidak beralasan. Serta tidak
dilengkapi dengan bukti-bukti otentik. Mereka hanya memfitnah. "Saya
akan buka-bukaan sekarang. Apa yang dilakukan Taufik, H Daus, dan H
Laweh, Haji Tullah, dan Fahrudim. Ini murni karena persaingan bisnis.
Mereka ingin DR ditutup karena bisnis mereka terganggu," terang Edi
kepada wartawan Minggu (29/7/2012) di kediamannya.
Menurut Edi,
tudingan hotel DR sebagai tempat transaksi prostitusi, penjualan minuman
keras (miras), dan perjudian sama sekali tidak benar. Itu hanya
akal-akalan tiga orang tadi untuk mematikan usahanya. Dia menuturkan,
konflik antara dirinya dengan 'raja-raja' kecil di Kampung Sugutamu
bermula saat ia membeli tanah tidak jauh dari lokasi DR. Saat hendak
membangun rumah di tanah tersebut, 'raja-raja' kecil itu mulai membuat
ulah. Mereka melarang saya membangun rumah, saya dirukhiyat sebanyak
lima kali di dalam masjid. Mereka mengajukan banyak sekali pertanyaan
yang salah satunya menanyakan soal mengapa membangun rumah dengan garasi
yang sangat panjang. Ini kan menjadi lucu," tuturnya.
Konflik
semakin memanas, kata Edi, saat dirinya kembali membeli tanah seluas
2000 meter tidak jauh dari tanah kedua. Untuk dijadikan rumah kontrakan
dengan standar tinggi. Mereka kembali membuat ulah. Menghasut masyarakat
untuk menutup DR dengan tuduhan sama yakni: kerap dijadikan lokasi
mesum. Kemudian, Edi mengusulkan agar dirinya diperbolehkah membangun
sport center. Mereka semua menyetujui usulan tersebut. Bahkan,
persetujuan ditandai dengan berpelukan. Tapi kini mereka kembali membuat
ulah. "Waktu itu tahun 2010, saya mengalah kepada mereka. Terhitung
sudah tiga tahun saya diserang masalah seperti ini. Sekarang saya harus
melawan, ini sudah keterlaluan," katanya kesal.
Edi mengungkapkan,
beberapa waktu lalu dirinya sempat dipanggil untuk dimintai
pertanggungjawaban. Sesampainya di lokasi, kata dia, mereka minta ia
menutup DR. Di depan Kapolresta Depok, kata Edi, ia meminta masyarakat
tidak asal bicara. Melainkan harus dilengkapi dengan bukti-bukti.
"Lagi-lagi mereka tidak memiliki bukti. Mereka hanya menunjukan lemari
etalase yang menurut mereka penuh dengan botol minuman keras. Waktu saya
tunjukan kalau botol tersebut bukan lah minuman keras, melainkan jus
anggur, mereka tidak percaya. Kalau tidak percaya jus dengan botol mirip
sampanye bisa dibeli di super market," ungkapnya.
Mengenai segel
yang dilakukan Satpol PP, kata dia, itu hanya penutupan sementara.
Permintaan penyegelan datang langsung dari manajemen DR, bukan inisiatif
Satpol PP. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik antara warga
Sugutamu dengan karyawan DR yang nota bene juga warga Sugutamu. Dalam
suratnya, kata Edi, Satpol PP hanya meminta DR mengurus perbaruan izin.
Sementara itu, izin sedang diproses. "Jadi tidak ada istilah penutupan
permanen. DR tetap dapat beroperasi setelah batas waktu yang ditentukan
habis," ujar Edi.
Edi menegaskan, dirinya kecewa dengan sikap
Pemerintah Kota Depok yang tidak lagi memproses izin DR menjadi hotel.
Padahal, pengajuan izin tersebut hasil masukan orang-orang dari Dinas
Pariwisata dan BPPT. "Mereka yang mengusulkan agar DR memperbarui izin.
Sekarang, izin sudah diajukan malah prosesnya dihentikan. Kami akan
mengadukan masalah ini ke Gubernur Jawa Barat dan Wakil Presiden
Republik Indonesia," tandasnya.(Faldi Said/cy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar