CEC : MUNCULNYA wacana supaya sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada)
kembali ditangani pengadilan tinggi (PT) menarik perhatian banyak
kalangan. Sebelumnya sengketa pilkada memang ditangani Malikamah Agung
(MA) dan pengadilan di bawahnya. Tapi karena dianggap pilkada bagian
dari rezim pemilu maka menurut UU sengketa pilkada diajukan ke Makamah
Konstitusi (MK). Bagaimana jika sengketa pilkada dikembalikan ke
Pengadilan Tinggi?. Sengketa ini terjadi lima tahun lalu. Sebuah
jalan panjang menuju kursi nomor satu telah terjadi di Depok.
Berdasarkan keputusan KPUD Kota Depok 7 Juli 2005. pasangan yang diusung
PKS, Nur-mahmudi Ismail-Yuyun Vi-rasaputra keluar sebagai pemenang,
dari hasil Pilkada Depok secara langsung dengan jumlah perolehan 232.610
suara, disusul pasangan Ba-drul Kamal-Syihabuddin Ahmad, meraup 206.781
suara. Keputusan KPUD tersebut kemudian digugat dan selanjutnya
dibawa ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat (PT Jabar). PT Jabar melalui
keputusannya pada 4 Agustus 2005 memenangkan pasangan dari Golkar dan
PKB, Badrul-Syi-habuddin tersebut. Dan. menetapkan habil suara yang
benar adalah 269.551 suara untuk pasangan Badrul Ka-mal-Syihabudin
Ahmad, sedangkan pasangan Nurmah-mudi-Yuyun mendapatkan 204.828 suara. Dengan adanya penetapan putusan PT Jabar tersebut, ternyata KPUD Kota
Depok tidak tinggal diam, mereka pun balik, mengajukan perlawanan hukum
ke MA. Lalu keluarlah keputusan MA terkait Peninjauan Kembali (PK) yang
ditempuh KPUD Kota Depok atas putusan PT Jabar. Namun kubu Badrul
Kamal tak puas lalu mengajukan masalah ini ke MK. Akhirnya masalah ini
diputuskan di MK pada 26 Januari 2006. Kasus sengketa Pilkada Depok
merupakan sengketa pilkada paling lama di negeri ini. hampir tujuh
bulan. Belajar dari banyak kasus pilkada akhirnya melalui UU No 12
Tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU Pemerintahan Daerah No 32
Tahun 2004 pasal 236C yang menyatakan peradilan sengketa dialihkan dari
MA ke MK. Setelah berjalan hampir tiga tahun. Oleh: Poltak Hutagaol -cy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar